Manohara Vs Prita Mulyasari





Manohara sudah kembali. Isteri putera mahkota kesultanan Kelantan tersebut menjadi top news 3 hari belakangan ini. Dalam wawancara dengan TvOne, saya baru tahu kalo gaya bicaranya campuran inggris-melayu-indonesia. Apakah memang dari dulu gayanya seperti itu (ga pernah liat dia sebelumnya) ataukah itu buah didikan alias terkontaminasi dari keluarga suaminya, saya ga tahu. Yang jelas, Cinta Laura mendapat saingan dalam hal ini.

Dari penampilannya di media, terlihat jelas sekali kalo Manohara sudah “menaklukkan” media massa. Ia tenang, menguasai masalah (ya iyalah), tidak mudah ditaklukkan pewawancara, menggunakan bahasa sesuai keinginannya (Rahma Sarita dan temannya selalu bertanya pake bahasa Indonesia dan Manohara menjawab dengan bahasa campuran Inggris-Melayu-Indonesia) dan ia cantik, camera face, para kameramen dengan senang hati akan menyorot keindahan wajahnya.

Masyarakat bersimpati kepadanya karena kombinasi berbagai hal: ia cantik, ia selebriti, ia isteri orang luar negeri, ia menderita karena kekerasan dalam rumah tangga, plus ibunya yang wira-wiri mencari berbagai solusi dan kisah pelariannya yang mirip film FBI.

Sekarang kita ke Prita Mulyasari. Ia sudah menikah, mempunyai anak dua, dan baru saja dipenjara karena mengirim surat pembaca. Ia mengeluh karena merasa mendapat perlakuan yang tidak semestinya dari Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera, Serpong, Tangerang ketika ia berobat kesana. RS berang. Prita ditahan Kejaksaan Negeri Tangerang di LP Wanita, Tangerang, sejak 13 Mei 2009. Ia menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik RS berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Isi pasal 27 ayat (3) UU tersebut adalah:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Dan ancamannya sesuai pasal 45 undang-undang tersebut adalah:

Pasal 45 ayat (1) : “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Bahkan, selama proses penyidikan di Polda Metro Jaya, Prita dikenakan pasal 310 dan 311 KUHP. Dari Polda Metro Jaya berkas perkara sudah lengkap (P21). Namun, setelah sampai ke Kejaksaan Negeri Tangerang pasal 27 ayat 3 UU Nomor 11 tahun 2008 ditambahkan untuk menjerat Prita Mulyasari. Seketika itu pula, Prita langsung ditahan.” Saya tidak sempat pamit sama anak-anak saya,” kata Prita.

Isi pasal 310 dan 311 KUHP adalah sebagai berikut:

Pasal 310

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Pasal 311

(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.

Prita Mulyasari sudah kalah dalam gugatan perdata di PN Tangerang dan sedang menunggu proses penuntutan pidana di Pengadilan Negeri Tangerang yang akan digelar 4 Juni dan dipimpin oleh Wakil Ketua PN Tangerang.

Bagaimana membandingkan kedua kasus ini? Manohara jelas pandai di depan kamera, ia mendapat banyak simpati. Prita jelas tidak mempunyai akses ke media, lha wong kebebasannya direnggut, bahkan kedua anaknya yang masih kecil tidak tahu dimana ibunya berada. Manohara menderita kekerasan dalam rumah tangga, Prita menderita karena “kekejaman dan arogansi” pelayanan publik. Manohara dibawah bayang-bayang kekuasaan Sultan Kelantan nun disana, Prita dibawah kekayaan dan kekuasaan Rumah Sakit Internasional yang mencari makan di Indonesia. Manohara sudah bersiap-siap bersama pengacaranya untuk menuntut suaminya bahkan kalo perlu sampai ke Mahkamah Internasional, Prita sudah kalah dalam gugatan perdata dan sedang menunggu gugatan pidana di PN Tangerang dengan tuntutan 1 miliar rupiah atau penjara maksimal 6 tahun. “Kesalahan” Manohara adalah ia menikah dengan anak orang berkuasa, “kesalahan” Prita adalah ia mengeluh karena mendapat perlakuan tidak semestinya dari rumah sakit yang berkuasa.

Mana yang lebih layak mendapat simpati? Dua-duanya. Tapi Manohara sudah cukup mendapat tempat dalam media massa. Bahkan Ratna Sarumpaet, yang pernah diajak ibu Manohara untuk menolong anaknya, gusar melihat kasus tersebut bergeser menjadi gosip. Dalam pandangan Ratna, kasus Manohara dengan suaminya statusnya masih fitnah, sehingga perlu ada pembuktian hukum. “Manohara sudah terlanjur memberitakan kejahatan Pangeran kelantan semenjak dua setengah bulan yang lalu. Dia punya tanggungjawab membuktikan tindakan kekerasan yang dialaminya. Jangan berlama-lama di depan kamera,” tandas Ratna Sarumpaet.

Sedangkan simpati untuk Prita baru dalam milis, fesbuk dan blog-blog saja. Sudah ada pengacara untuk mengawal kasus Manohara dan saya tidak tahu sudah ada atau belum pengacara untuk membela Prita (oh, ternyata sudah ada, Pak Samsu Anwar namanya).
Sumber : Cahayasura

Artikel Menarik Lainnya



4 comments:

Body said...

Kayax bakalan seru nih :D

David Pangemanan said...

PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Maka benarlah statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Sudah tibakah saatnya???

David
HP. (0274)9345675

ika said...

yaaahhhh menurut aq cuman momennya ajah yang pas deket ama pemilu.......... kalo enggak yaaahh, pasti biasa-biasa ajah deee

karumbu said...

semoga kita semua mendapatkan keadilan hukum.