Tuberkulosis Bahaya Pada Perempuan

Tuberkulosis (TB) masih jadi masalah kesehatan penting dewasa ini, padahal kuman penyebab maupun obatnya telah ditemukan sejak puluhan tahun silam. Penyakit ini menyerang sebagian besar perempuan pada usianya yang paling produktif, dan kebanyakan tidak didiagnosis atau tidak mendapatkan pengobatan yang kuat.

Diperkirakan, sekitar dua miliar manusia atau sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman penyakit itu. Laporan Pengendalian Tuberkulosis Global tahun 2008 menyebutkan, prevalensi atau angka kejadian TB tahun 2 006 adalah 14,4 juta orang, di mana diperkirakan ada sekitar 500.000 pasien TB dengan resistensi ganda. Pada tahun 2006, diperkirakan 1,7 juta orang meninggal dunia per tahun akibat TB, dan 200.000 di antaranya dengan HIV.

Menurut Prof Tjandra Yoga Aditama, tuberkulosis membunuh satu juta perempuan di dunia setiap tahun. Di Indonesia, tahun 2007 ditemukan 94.614 pasien pria dan 65.642 pasien TB perempuan dengan BTA positif.

Sementara pasien dengan BTA negatif jumlahnya adalah 56.758 pasien laki-laki dan 45.572 pasien perempuan. Tuberkulosis menyerang sebagian besar perempuan pada usianya yang paling produktif.

Beberapa alasan para perempuan tidak didiagnosis atau tidak mendapat pengobatan adalah, tidak ada waktu karena kesibukannya mengurus keluarga, masalah biaya dan transportasi.

Kendala lain adalah, adanya stigma dan hambatan sosio-budaya tertentu, tingkat pendidikan yang relatif masih rendah sehingga keterbatasan informasi mengenai gejala dan pengobatan tuberkulosis. Tak jarang, prioritas gizi dan kesehatan dalam keluarga lebih diberikan pada suami dan anak daripada pada istri. Kondisi ini mengakibatkan banyak perempuan sulit mengakses layanan pengobatan tuberkulosis.

Data dari India (2008) menyebutkan, penemuan pasien pria tiga kali lebih banyak dari perempuan TB. Penelitian kualitatif Ganapathy menunjukkan, faktor yang berperan antara lain, perbedaan gender dalam persepsi kesehatan masyarakat, masalah dalam perkawinan, stigma dan kenyataan kaum pria dan anak-anak lebih dapat perhatian kalau sakit ketimbang kaum perempuan.

Karena itu, perlu ada strategi intervensi spesifik gender untuk mengatasi ketimpangan pelayanan kesehatan bagi kaum perempuan. Secara umum, saat ini teknik diagnosis yang digunakan secara luas adalah teknik lama, Tentunya perlu ada sebuah teknik diagnosis baru yang dapat mendiagnosis lebih cepat dan akurat, baik untuk diagnosis penyakit, resistensi serta infeksi.

Tes diagnostik yang baru harus mempertimbangkan sejumlah faktor seperti sensitivitas, kecepatan, harga serta kemudahan penggunaannya di lapangan.
Sumber : Rileks

Artikel Menarik Lainnya



2 comments:

Kaka said...

Kesehatan mahal harganya bro..

Unknown said...

menurut data TBC banyak ter identivikasi di negara ketiga, ini temasuk negara kita. jadi usahakan kita pola hidup sehat dan cintai lingkungan bersih.