Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pepatah itu cocok untuk menggambarkan nasib Arief Rohmana (35), guru Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten. Ia harus berurusan dengan polisi hanya gara-gara mengirimkan pesan pendek kepada Ibu Negara untuk menunjukkan kekesalan lantaran rumahnya dilintasi kabel saluran udara tegangan ekstra tinggi atau SUTET.
Bapak tiga anak itu dijemput saat tertidur lelap di rumah kontrakannya di Kampung Lebak Purut, Desa Kupahandap, Kecamatan Cimanuk, sekitar pukul 03.00. Setelah itu, ia dibawa ke Markas Kepolisian Resor (Polres) Pandeglang untuk menjalani pemeriksaan selama lebih kurang tujuh jam.
Bapak tiga anak itu dijemput saat tertidur lelap di rumah kontrakannya di Kampung Lebak Purut, Desa Kupahandap, Kecamatan Cimanuk, sekitar pukul 03.00. Setelah itu, ia dibawa ke Markas Kepolisian Resor (Polres) Pandeglang untuk menjalani pemeriksaan selama lebih kurang tujuh jam.
Tidak berhenti begitu saja, guru Matematika itu kemudian dibawa ke Markas Kepolisian Daerah (Polda) Banten di Cipocok Jaya, Kota Serang. Di sana dia diperiksa selama lebih kurang 11 jam sebelum dibebaskan pada Minggu malam sekitar pukul 21.00. ”Saya dimintai keterangan sekitar 18 jam di Polres Pandeglang dan Polda Banten. Minggu malam keluar dari Polda dan baru pagi ini kembali ke rumah,” kata Arif beberapa jam setelah tiba di rumah kontrakannya, Senin (31/8) kemarin.
Pemeriksaan itu dilakukan terkait dengan sejumlah pesan singkat yang dikirimkannya kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono. Pesan singkat itu merupakan bentuk kekesalan atas malapetaka yang menimpa keluarga Arief serta warga Labuan lainnya.
Malapetaka itu bermula saat pemerintah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) II Banten di Desa Sukamaju, Kecamatan Labuan, Pandeglang, melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006. Sejak awal rencana pembangunan PLTU di pesisir pantai barat Banten itu sudah menuai protes warga yang khawatir lingkungannya akan rusak.
Protes warga bertambah gencar setelah PT Pembangkit Listrik Negara (PLN) sebagai pelaksana proyek mulai mengerjakan pembangunan pada awal tahun 2007. Protes itu terus berlanjut setelah pengelola proyek memasang menara serta jaringan SUTET di sepanjang pantai barat, dari Labuan, Carita, Anyer, hingga Cilegon.
Jaringan SUTET itu juga melintasi Perumahan Griya Labuan Asri (GLA), tempat tinggal Arief dan keluarganya. Bersama warga lain, ia gencar mengirimkan surat protes ke Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Provinsi Banten, dan Presiden. Namun, surat keberatan warga itu tidak ditanggapi.
Tidak putus asa, Arief juga mulai mengirim pesan singkat kepada empat pejabat pelaksana proyek pembangunan PLTU II Banten melalui telepon seluler. Sama seperti sebelumnya, keluhan warga juga belum sepenuhnya ditanggapi.
Hingga Agustus 2008, ia mendapat nomor telepon seluler yang diyakini milik Ny Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Arief mulai mengirimkan pesan singkat berisi keluhan serta permintaan agar pemerintah bersedia memerhatikan nasib korban SUTET. Upaya itu pun tidak pernah ditanggapi.
Arief bertambah geram dan terpaksa mengirimkan pesan singkat dengan nada keras. Arief kesal karena ternyata PLTU II Banten tetap diresmikan dan siap dioperasikan. Isinya lebih kurang seperti ini:
”Trompet sumber malapetaka masyarakat Labuan telah kau bunyikan, mulai saat ini engkaulah target selanjutnya,” tuturnya.
Gayung pun bersambut. Pesan singkat terakhir itu membuat Arief menjadi pusat perhatian. Ia pun ditangkap petugas Detasemen Antiteror (Densus) 88 dan Polres Pandeglang. Bagi Arief, penangkapan itu merupakan bentuk perhatian pemerintah karena berarti pemerintah mulai peduli pada perjuangannya.
Dirugikan
Sebenarnya, pesan singkat yang dikirimkan Arief bukan tanpa alasan. Keberadaan PLTU II Banten membuat perjalanan hidup keluarganya berubah. Guru lulusan Diploma III itu terpaksa mengusulkan pindah mengajar dari SMPN 1 Labuan ke SMPN 2 Cimanuk.
Selain itu, dengan alasan kesehatan, ia rela meninggalkan rumah di GLA yang sudah 11 tahun ditinggali. Keluarga muda itu memilih pindah dan mengontrak rumah di Desa Kupahandap. Saat ditangkap, dia baru 18 hari tinggal di rumah kontrakan itu. ”Daripada anak saya terkena radiasi SUTET, lebih baik saya pindah ke kontrakan ini,” ujarnya.
Bagi keluarga Arief, pindah rumah berarti pengeluaran bertambah. Ia harus mengeluarkan uang untuk mengontrak rumah sebesar Rp 2,5 juta per tahun atau sekitar Rp 209.000 per bulan. Padahal, ia masih harus mengeluarkan uang untuk membayar cicilan rumah yang baru habis tahun 2015.
Gajinya sebagai guru sebesar Rp 2,7 juta per bulan habis untuk membayar potongan pinjaman ke bank dan koperasi kantornya. Sisa gaji yang bisa dibawa pulang hanya sekitar Rp 430.000. ”Itu waktu masih tinggal di GLA. Kalau sekarang berarti sisanya kurang dari itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Arief berencana untuk menjual rumah miliknya di GLA, tetapi belum juga terjual. Padahal, ia sudah menawarkan akan menjual rumah itu sejak enam bulan yang lalu. Nilai ekonomis rumah-rumah warga di GLA memang menurun menyusul pembangunan SUTET. Satu unit rumah yang seharusnya bisa dijual dengan harga rata-rata Rp 75 juta kini sudah tidak ada harganya lagi. Bahkan, pemerintah pun hanya mau memberikan ganti rugi sebesar Rp 1,5 juta untuk warga yang rumahnya dilintasi kabel SUTET. Tidak ada yang lebih, hanya sebesar itu.
Melakukan teror
Sementara itu, Kepala Polda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Rumiah menegaskan, penangkapan Arief sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembangunan PLTU II Banten. Suami dari Nuraeni (28) itu dimintai keterangan karena diduga telah melakukan teror dan mencemarkan nama baik Presiden. ”Yang bersangkutan ditangkap karena ada pengancaman terhadap Presiden dan mencemarkan nama baik,” tuturnya saat ditemui di DPRD Banten.
Menurut Rumiah, Arief sudah mengakui apa yang ia perbuat. Guru Matematika itu sudah meminta maaf kepada Presiden serta pihak-pihak yang terkait. Ia juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Namun, bagi Arief, ini merupakan babak baru perjuangannya untuk menyelamatkan korban SUTET. Malapetaka itu dijadikan cambuk untuk lebih keras memperjuangkan haknya sebagai manusia dan warga negara.
Sumber : Kaskus
2 comments:
yah masyarakat kecil akan selalu mendapatkan petaka!!!!
mari kita promosikan objel wisata indonesia !!!
Post a Comment